Dulu, ITB Harum Karena Mahasiswanya!

Refleksi Dies Natalis ITB ke-62

Suaralam
5 min readMar 2, 2021
Tiga mahasiswa ITB bermobil ria dari Jerman Barat hingga Nepal pada tahun 77–78 (sumber: Keliling Kampus Dunia, 2009)

“Dulu, ITB harum karena nama besar mahasiswanya. Sekarang, mahasiswa harum karena nama besar ITB nya.”

Ungkapan yang sering saya dengar itu tidaklah berlebihan. Setidaknya itu jadi bahan refleksi buat saya hingga sekarang. Saya pun belum pernah membuat harum nama kampus. Seperti halnya menang lomba tingkat nasional atau apalah. Pun, semisal menang, saya yakin itu tidak serta-merta membuat harum nama kampus. Kiasan yang menurut saya tidak cocok. Saya lebih percaya, kampus ini harum karena akumulasi dari prestasi mahasiswa-mahasiswa hebat yang lahir sejak kampus ini pertama kali berdiri.

Dari sekian prestasi mahasiswa-mahasiswa ITB yang hebat, jagoan saya tetap Erlangga Ibrahim (Teknik Industri, lulus 1978) dan Fadel Muhammad (Fisika Teknik, lulus 1978). Setidaknya prestasi mereka berdua sangat erat kaitannya dengan “mengenalkan ITB ke mata dunia”. Sebuah ungkapan yang saya rasa tidak pula berlebihan.

Bisa dibilang, mereka berdua adalah mahasiswa gokil yang — entah apa isi otaknya — benar-benar membuat saya berdecak kagum. Oiya lupa, barangkali Achmad Kalla (FT, kurang tau kapan tahun lulusnya) juga perlu disebutkan namanya. Ketiganya, adalah…. manusia paling gila, gokil, beruntung yang pernah ada di kampus ini. Maap cui kalo lebay.

Saya berkenalan dengan ketiganya dari buku “Keliling Kampus Dunia” terbitan Grasindo tahun 2009. Bisa dibilang, buku itu mengajak saya bertualang mengenal kampus-kampus dunia dan bagaimana mahasiswa-mahasiswanya. Tapi diakhir justru membuat saya semakin kangen sama kampus! haha.

Cover buku Keliling Kampus Dunia (sumber: ipusnas)

Sesuai judulnya, penulis (Erlangga dan Fadel) melakukan perjalanan keliling dunia untuk mengenal dinamika kampus-kampus dunia. Awalnya, sebatas ke kampus-kampus di Singapore saja. Modalnya hanya sponsorship dengan Garuda buat dapat tiket pesawat. Tapi karena beruntung bertemu Dirjen Dikti di Changi, mereka malah dimodalin lagi untuk terus lanjut ke Malaysia. Di Malaysia, mereka ke KBRI dan dapat modal lagi untuk lanjut ke Thailand. Sungguh beruntung!

Beranjak dari perjalanannya serta mendokumentasikan perjalanannya dalam bentuk tulisan, mereka mengirim tulisan perjalanannya ke harian Kompas. Begitu tulisannya dimuat, Dirjen Dikti membaca dan memberikan apresiasi untuk mereka. Sekaligus memberi tiket ke Filipina untuk melengkapi perjalanannya di negara-negara ASEAN. Perlu diingat, waktu itu anggota ASEAN hanya lima negara saja, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Berhubung pesawat ke Filipina harus transit dulu di Hongkong, mereka menjadikan itu sebuah batu loncatan untuk berkunjung juga ke kampus-kampus di Hongkong, Jepang, dan Korea Selatan. Pulang ke Indonesia, catatan mereka diterbitkan dalam harian Kompas dalam 15 seri tulisan.

Satu tahun setelahnya, mereka menyusun rencana besar untuk berkunjung ke kampus-kampus di Eropa Barat. Ide gokilnya itu mereka sampaikan ke rektor ITB, Prof. Iskandar Alisjahbana (ga asing dengan nama belakangnya, setelah saya cari tahu, ya beliau adalah anak dari sastrawan besar Sutan Takdir Alisjahbana).

Awalnya mereka berniat untuk menjelajah Eropa Barat dengan kereta. Namun, rektor mengusulkan untuk naik mobil saja. Merasa tertantang, mereka akhirnya mencari sponsor. Banyak sponsor datang. Salah satunya dari Mazda, yang memberikan mobil ketika nanti di Eropa, beserta biaya bensin dan perawatannya. Dari situ pula mereka mengajak Achmad Kalla (adik dari Jusuf Kalla) yang kebetulan mengerti lebih banyak soal mesin mobil.

Singkat cerita, mereka bertiga tiba di Jerman Barat pada Oktober 1977. Awalnya Achmad Kalla hanya ikut perjalanan awal ke Jerman Barat, Belanda, dan Denmark karena harus pulang ke Bandung untuk UTS! Namun setelah itu balik ke Eropa lagi untuk bergabung kembali (maklum, bapaknya beliau — Hadji Kalla — semacam “sultan” di Sulawesi Selatan wkwk, yang punya Kalla Group bosss). Namun niat ia batal karena ternyata di kampus ITB saat itu terjadi demonstrasi besar-besaran (baca: Mahasiswa Ingin Ganti Presiden, Tentara Duduki Kampus — Historia). Waktu itu, militer menduduki kampus. UTS jadi terkatung-katung dan terus ditunda. Bahkan ITB ditutup selama 6 bulan!

Mendengar perkuliahan ITB ditutup bagaikan angin segar untuk keduanya (Achmad Kalla akhirnya kembali ke Tanah Air pada November 1977). Tidak hanya di Eropa Barat seperti niat semula. Mereka lanjut petualangannya ke Eropa Timur, Timur Tengah, sempat umroh dulu di Saudi, lalu lanjut lagi lewat Afghanistan (waktu itu di sana sedang panas-panasnya konflik bersenjata), dan seterusnya sampai India dan Nepal. Ketika sampai India, mereka mendapat kabar bahwa kampus ITB masih ditutup. Rencana lanjut ke Myanmar pun terbesit. Sayang, perbatasan India-Myanmar ditutup karena pada saat itu Myanmar sedang isolasi wilayah. Perjalanan pun berakhir di India. Mazda 323 mereka kapalkan sampai Singapore.

Sungguh luar biasa mereka. Dari yang awal rencananya sebulan menjadi enam bulan selama bertualang ke kampus-kampus dunia.

Kecelakaan di Perancis, Dikejar Mobil Patroli di Saudi, dan Menabrak Sapi di India!

Mobil harus diderek karena mengalami kecelakaan (sumber: Keliling Kampus Dunia, 2009)

Bagian gokil adalah mereka menemukan berbagai macam kejadian apes selama di perjalanan. Karena ngantuk dan jalanan lurus terus, Erlangga tidak sadar mobilnya telah nyerempet pagar autoroute sehingga mobil terlempar ke sebuah taman, menabrak pohon cemara, dan pohonnya rubuh!

Begitu polisi setempat datang, menginterogasi, dan hendak melakukan tes alkohol. Mereka bilang, “Monsiuer, kami bukan mabuk alkohol, tapi mabuk sate!”

Yup, begitu tes alkohol selesai, mereka terbukti tidak sedang mabuk alkohol. Setelah segala proses selesai, mereka pun sibuk mengurus kerusakan mobil, mereparasinya di bengkel sebelum kembali melakukan perjalanan.

Begitu juga hal-hal konyol yang turut menyertai ketika di pos perbatasan Saudi. Mereka harus diperiksa petugas demi mencari barang-barang haram. Sebut saja miras, narkoba, dan gambar porno. Hasilnya, ga ada barang-barang haram. Alhamdulillah wkwk.

Pun di India, ketika sedang asik-asiknya melintas tiba-tiba saja ada sapi menyebrang. Walau sudah menginjak pedal rem, tetap saja bumper depan terlanjur menabrak pantat si sapi. Hewan yang dianggap suci (bagi umat Hindu) itu pun terduduk lemas. Khawatir akan dikeroyok penduduk setempat, mereka pun langsung tancap gas!

Menepi di gurun (sumber: Keliling Kampus Dunia, 2009)

Sekarang Mereka Jadi Apa?

Erlangga Ibrahim menjadi pengusaha hebat. Mempunyai berbagai macam bidang usaha. Salah satunya dalam bidang transportasi berupa travel Jakarta-Bandung dan sebaliknya.

Pun Fadel Muhammad, menjadi politisi ulung yang sempat menjabat sebagai Gubernur Gorontalo, Menteri Kelautan dan Perikanan zaman SBY, dan sekarang menjabat Wakil Ketua MPR RI periode 2019–2024.

Dari berita yang betebaran di google, Fadel Muhammad terlibat kasus dugaan korupsi ketika menjabat sebagai Gubernur Gorontalo pada tahun 2001. Namun sampai saat ini ia belum ditahan. Bahkan masih duduk di kursi pemerintahan. Entah akhir kasusnya bagaimana, apakah ia terbukti bersalah atau tidak. Saya pikir, ini pelajaran berharga untuk semua orang agar tetap berada pada “jalan yang lurus”, sebagaimana perjalanan yang Fadel tempuh ketika ia menjadi mahasiswa.

Godaan maupun cobaan datang silih berganti, hanya moralitas yang menjaga kita tetap berada pada jalurnya. Bagaimana pun, sosok Fadel dan Erlangga ketika masih menjadi mahasiswa tetap menjadi sumber inspirasi bagi saya.

Selamat ulang tahun ITB, semoga integritas selalu menyertai para mahasiswa dan alumninya!

--

--